Urban Climbing, atau yang lebih dikenal sebagai buildering, adalah praktik mendaki struktur buatan manusia seperti gedung pencakar langit, jembatan, atau monumen. Berbeda dengan pendakian tebing, kegiatan ini sarat dengan risiko hukum dan keamanan yang kompleks. Di mata hukum, aktivitas ini hampir selalu dikategorikan sebagai pelanggaran batas properti (trespassing) dan vandalisme. Oleh karena itu, bagi mereka yang tetap memilih jalur ekstrem ini, keterampilan teknis pendakian harus diimbangi dengan Latihan Stealth yang cermat. Latihan Stealth bukan hanya tentang menghindari deteksi, tetapi juga tentang meminimalkan risiko bahaya bagi diri sendiri dan kerugian pada struktur yang dipanjat. Kemampuan bersembunyi di balik bayangan dan bergerak tanpa menarik perhatian adalah sama pentingnya dengan kekuatan jari dalam disiplin yang sangat kontroversial ini.
Aspek legal adalah perhatian utama. Di banyak yurisdiksi, tindakan urban climbing dapat berujung pada penangkapan, denda besar, bahkan hukuman penjara. Pada kasus yang terjadi pada tanggal 22 Mei 2024 di kota Surabaya, seorang warga negara asing (WNA) berinisial A.J. ditangkap oleh petugas Kepolisian Sektor Tegalsari pada pukul 03.30 WIB setelah berusaha memanjat sebuah menara telekomunikasi setinggi 80 meter. Kabid Humas Polda Jawa Timur, Komisaris Besar Polisi Budi Santoso, menyatakan bahwa pelaku dikenakan pasal pelanggaran UU ITE terkait akses ilegal dan vandalisme properti publik. Kejadian ini menjadi pengingat keras bahwa risiko hukum jauh lebih pasti daripada sensasi pendakian itu sendiri.
Mengingat risiko hukum ini, bagi para urban climber yang tidak terdeteksi, keberhasilan mereka sebagian besar berasal dari perencanaan dan Latihan Stealth yang matang. Hal ini mencakup survei lokasi secara detail, mempelajari jadwal patroli keamanan, dan memahami tata letak kamera pengawas. Waktu terbaik untuk melakukan aksi ini biasanya pada dini hari antara pukul 02.00 hingga 04.00 WIB, saat pergerakan manusia dan kendaraan berada pada titik terendah. Peralatan yang digunakan pun sering kali dimodifikasi, menggunakan pakaian berwarna gelap atau material yang tidak memantulkan cahaya untuk memastikan Latihan Stealth maksimal.
Di sisi keamanan, mendaki gedung memiliki bahaya unik yang tidak ada pada tebing alami, seperti permukaan kaca yang licin, struktur logam yang mudah berkarat, atau elemen arsitektur yang tidak stabil. Latihan Stealth juga harus mencakup keterampilan bergerak secara diam-diam dan efisien. Gerakan yang terburu-buru atau panik sering kali menjadi penyebab utama terdeteksinya seorang climber. Selain itu, pendaki harus siap menghadapi sistem keamanan modern. Dalam sebuah laporan insiden di Kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, pada hari Sabtu, 10 Februari 2024, alarm bangunan berbunyi pada pukul 04.15 WIB karena seorang climber secara tidak sengaja mengaktifkan sensor tekanan di atap lantai dasar. Meskipun climber tersebut berhasil melarikan diri, insiden itu menunjukkan bahwa bahkan Latihan Stealth terbaik pun bisa gagal jika elemen sistem keamanan tidak diperhitungkan. Disiplin diri dan penghormatan pada batas hukum tetap menjadi pesan terpenting bagi mereka yang tertarik pada dunia ekstrem urban climbing.